Nama : Nuruliza Ferdina
NIM : 2310322011
Kelas : B
- hubungan antara stress dan stressor
Istilah stres mengacu pada respons fisik, emosional, kognitif, dan perilaku terhadap peristiwa yang dianggap mengancam atau menantang. Stres dapat muncul dengan berbagai cara. Kelelahan yang tidak biasa, masalah tidur, sering masuk angin, bahkan nyeri dada dan mual adalah beberapa contoh masalah fisik. Selain itu, individu yang mengalami stres dapat berperilaku dengan cara yang berbeda, seperti mondar-mandir, makan terlalu banyak, sering menangis, merokok dan minum lebih dari yang biasanya, atau secara fisik menyerang orang lain dengan memukul atau melempar sesuatu. Orang yang mengalami stres emosional dapat mengalami kecemasan, depresi, ketakutan, mudah tersinggung, serta kemarahan dan frustrasi.
Beberapa orang mengalami tingkat stres tertentu setiap hari. Stressor adalah peristiwa yang menimbulkan stres, yang dapat berasal dari dalam diri seseorang atau dari sumber eksternal, dan tingkatnya berkisar dari yang ringan hingga yang berat. Makalah, belajar untuk ujian, masalah mobil, hubungan, dan tenggat waktu adalah beberapa contoh situasi dan peristiwa yang dapat menyebabkan stres bagi mahasiswa.
stres terdiri dari dua jenis: stresor yang menyebabkan distress, terjadi ketika seseorang menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, dan stresor yang menyebabkan eustress, yang terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang baik yang terus menuntut perubahan atau adaptasi. Pernikahan, promosi jabatan, dan memiliki bayi mungkin merupakan peristiwa yang positif bagi sebagian besar orang. Namun, semuanya membutuhkan banyak perubahan dalam kebiasaan, tugas, dan gaya hidup seseorang yang dapat menyebabkan stres. Istilah eustress diciptakan untuk menggambarkan stres yang dialami ketika tubuh harus beradaptasi karena peristiwa positif. Eustress didefinisikan sebagai jumlah stres optimal yang dibutuhkan orang untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
- faktor fisiologis dari stress dan kesehatan :
a. General adaptation syndrome
Tiga tahap reaksi fisiologis yang dilalui tubuh ketika beradaptasi dengan stresor:
1. Alarm: Ketika tubuh pertama kali bereaksi terhadap pemicu stres, sistem saraf simpatik diaktifkan. Kelenjar adrenal melepaskan hormon yang meningkatkan detak jantung, tekanan darah, dan pasokan gula darah, yang menghasilkan ledakan energi.
2. Resistance: Tubuh masuk ke dalam aktivitas divisi simpatik ketika stres berlanjut, yang mengarah pada pelepasan hormon stres. Hormon-hormon ini membantu tubuh melawan penyebab stres. Salah satu hormon yang dilepaskan saat stres, noradrenalin (norepinefrin), memengaruhi pemrosesan rasa sakit oleh otak, sehingga ketika stres seseorang mungkin mengalami semacam analgesia (ketidakpekaan terhadap rasa sakit) misalnya jika lengan atau tulang keringnya terbentur.
3. Exhaustion: Kelelahan terjadi ketika sumber daya tubuh habis. Jika bantuan eksternal tidak tersedia, kelelahan dapat menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan stres (seperti tekanan darah tinggi atau sistem kekebalan tubuh yang lemah) atau kematian organisme. Tubuh akan berusaha mengisi kembali sumber dayanya setelah pemicu stres berakhir.
b. keterkaitan imun dan stress
Sistem kekebalan tubuh, yang pertama kali ditemukan oleh Selye, terdiri dari sistem sel, organ, dan bahan kimia dalam tubuh yang melawan penyakit dan cedera. Psikoneuroimunologi adalah bidang yang menyelidiki bagaimana hal-hal psikologis seperti stres, emosi, pemikiran, pembelajaran, dan perilaku memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Para peneliti di bidang ini menemukan bahwa stres memicu reaksi sistem kekebalan tubuh yang sama seperti yang dipicu oleh infeksi. Ketika sel darah putih atau sel kekebalan tubuh berhadapan dengan infeksi dalam tubuh, sel kekebalan tubuh membuat enzim dan bahan kimia tertentu, termasuk antibodi, ke dalam aliran darah. Bahan kimia ini kemudian mengaktifkan situs reseptor pada saraf vagus, saraf terpanjang yang menghubungkan tubuh ke otak. Aktivasi situs reseptor inilah yang memberi sinyal pada otak bahwa tubuh sedang sakit, sehingga otak merespons dengan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh.
c. health psychology
Psikologi kesehatan berfokus pada bagaimana sifat psikologis, aktivitas fisik, dan hubungan sosial memengaruhi kesehatan secara keseluruhan dan tingkat penyakit. Psikolog klinis atau konseling biasanya adalah spesialis dalam bidang ini dan dapat bekerja dengan dokter di klinik atau rumah sakit. namun, ada juga psikolog kesehatan yang terutama terlibat dalam pengajaran dan penelitian.
Psikolog kesehatan berusaha memahami bagaimana perilaku, seperti penggunaan obat-obatan, optimisme, kepribadian, dan makanan yang dikonsumsi, dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk melawan penyakit atau meningkatkan kemungkinan jatuh sakit. Selain itu, mereka ingin mengetahui bagaimana kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti kemiskinan, kekayaan, agama, dukungan sosial, kepribadian, dan bahkan etnisitas seseorang. Psikologi kesehatan klinis adalah subbidang psikologi kesehatan yang berfokus pada bagaimana para peneliti di lapangan menggunakan informasi yang mereka peroleh untuk mendorong gaya hidup sehat, menjaga kesehatan, dan mencegah atau mengobati penyakit. Psikolog kesehatan klinis juga berusaha meningkatkan sistem perawatan kesehatan.
d. Faktor Kognitif
Richard Lazarus, seorang psikolog kognitif, mengembangkan teori kognitif mediasional tentang emosi yang menurutnya menentukan seberapa besar stres yang ditimbulkan oleh suatu stresor berdasarkan cara orang berpikir dan menilainya. Lazarus mengatakan bahwa ada dua tahap dalam menilai tingkat ancaman atau bahaya dari sebuah stresor.
Langkah pertama dalam menilai stresor disebut penilaian primer, yang melibatkan estimasi tingkat keparahan stresor dan mengklasifikasikannya sebagai ancaman (sesuatu yang dapat membahayakan di masa depan), tantangan (sesuatu yang harus dihadapi), atau bahaya atau kerugian yang telah terjadi. Jika stresor dinilai sebagai ancaman, emosi negatif negatif dapat muncul yang menghambat kemampuan seseorang untuk mengatasi ancaman tersebut.
Dalam penilaian sekunder, mereka yang menemukan ancaman atau dampak yang berbahaya harus menghitung sumber daya yang mereka miliki untuk mengatasi penyebab stres. Sumber daya ini dapat mencakup dukungan sosial, uang, waktu, energi, kemampuan, atau sejumlah sumber daya yang berbeda, tergantung pada ancaman. Tingkat stres akan lebih rendah jika sumber daya memadai atau berlimpah.
e. Faktor Kepribadian
1. Tipe Kepribadian
Orang tipe A gila kerja, sangat kompetitif, tidak suka membuang-buang waktu, dan mudah kesal. Mereka merasakan tekanan yang terus-menerus dan memiliki kecenderungan kuat untuk mencoba melakukan beberapa hal sekaligus. Sering kali berhasil tetapi sering kali tidak puas, mereka tampaknya selalu ingin lebih cepat dan melakukan lebih banyak, dan mereka mudah marah karena hal-hal kecil. Sebaliknya, orang Tipe B tidak terlalu kompetitif atau bersemangat, cenderung santai dan tidak mudah marah, serta tampak santai dan tenang. Orang tipe C biasanya sangat menyenangkan dan berusaha tetap tenang, tetapi sulit bagi mereka untuk mengekspresikan emosi, terutama emosi negatif. Mereka cenderung memendam kemarahan dan sering merasa putus asa karena kehilangan orang yang dicintai atau harapan mereka. Mereka juga sering merasa kesepian.
The hard Personality
-Orang yang tangguh memiliki rasa komitmen yang mendalam terhadap nilai-nilai, keyakinan, rasa identitas, pekerjaan, dan kehidupan keluarga.
- Orang yang tangguh juga merasa bahwa mereka memegang kendali atas hidup mereka dan apa yang terjadi pada mereka.
- Orang yang tangguh cenderung menafsirkan peristiwa dalam penilaian utama secara berbeda dari orang yang tidak tangguh. Ketika ada masalah, mereka tidak melihat masalah yang menakutkan untuk dihindari, melainkan sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dijawab.
2. Optimis dan Pesimis
Orang yang optimis adalah orang yang selalu mencari hasil yang positif. Orang pesimis mengharapkan yang terburuk terjadi. Bagi orang yang optimis, gelas itu setengah penuh, sedangkan bagi orang yang pesimis, gelas itu setengah kosong. Para peneliti telah menemukan bahwa optimisme berhubungan dengan umur yang lebih panjang dan peningkatan fungsi sistem kekebalan tubuh.
f. Faktor Sosial dari Stress
1. Kemiskinan: Kemiskinan dapat menyebabkan banyak kondisi yang meningkatkan tingkat stres yang dialami oleh orang dewasa dan anak-anak. Anak-anak, misalnya, mungkin menghadapi peningkatan risiko kekurangan gizi, penyakit, dan terpapar kekerasan karena kondisi kondisi yang harus mereka jalani.
2. Stress pekerjaan: Bahkan jika seseorang memiliki pekerjaan dan mendapatkan gaji yang memadai, ada tekanan yang terkait dengan tempat kerja yang menambah stres harian. Beberapa sumber stres yang umum terjadi di tempat kerja termasuk beban kerja, kurangnya variasi atau kebermaknaan dalam pekerjaan, kurangnya kontrol atas keputusan, jam kerja yang panjang, kondisi kerja fisik yang buruk, rasisme, seksisme, dan kurangnya keamanan kerja. Salah satu dampak yang lebih serius dari stres di tempat kerja adalah kondisi yang disebut burnout. Burnout dapat didefinisikan sebagai perubahan negatif dalam pikiran, emosi, dan perilaku sebagai sebagai akibat dari stres atau frustrasi yang berkepanjangan, yang mengakibatkan kelelahan mental dan fisik.
Budaya mempengaruhi stres: Seseorang yang berasal dari satu budaya harus tinggal di budaya lain mungkin mengalami stres yang signifikan. Proses beradaptasi dengan budaya baru atau berbeda, yang biasanya merupakan budaya yang dominan, disebut stres akulturatif. Stres akulturatif berasal dari kebutuhan untuk berubah dan beradaptasi dengan budaya dominan atau mayoritas. Berurusan dengan prasangka dan diskriminasi adalah beberapa contoh stres akulturatif.
- proses coping terhadap stress
Strategi koping adalah tindakan yang dapat dilakukan seseorang untuk menguasai, menoleransi, mengurangi, atau meminimalkan efek stres, dan strategi ini dapat mencakup strategi perilaku dan strategi psikologis.
Problem-Focused Coping: Menghilangkan atau mengubah sumber stres adalah salah satu jenis strategi penanggulangan. Penanganan yang berfokus pada masalah adalah upaya seseorang untuk menghilangkan sumber stres atau mengurangi efeknya melalui tindakan mereka sendiri.
Emotion-Focused Coping: Coping yang berfokus pada emosi adalah strategi yang melibatkan perubahan cara seseorang merasakan atau bereaksi secara emosional terhadap stresor. Teknik ini memungkinkan seseorang untuk mengatasi masalah dengan lebih baik dan mengurangi dampak emosional dari stresor. Coping yang berfokus pada emosi juga dapat digunakan untuk mengatasi stres yang tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat diatasi. Seseorang yang menggunakan coping yang berfokus pada emosi dapat memutuskan untuk melihat stresor sebagai tantangan daripada ancaman, menganggap masalah itu kecil, atau bahkan mengabaikannya.
Referensi:
Ciccarelli, Saundra, K.; White, J. Noland. 2017. Psychology 5th Ed. Pearson Education. New Jersey
Komentar
Posting Komentar