Nama : Nuruliza Ferdina
NIM : 2310322011
Kelas : Psikologi B
- physical side dari seksualitas
THE PRIMARY SEX CHARACTERISTICS
Karakteristik seks primer terlibat langsung dalam reproduksi manusia. Karakteristik fisik ini sudah ada pada bayi saat lahir, meskipun belum sepenuhnya berkembang hingga masa pubertas. Karakteristik seks primer pria meliputi penis (organ yang digunakan pria untuk buang air kecil dan menyalurkan sel kelamin pria atau sperma), testis (kelenjar kelamin pria), skrotum (kantung eksternal yang menampung testis), dan kelenjar prostat (kelenjar yang mengeluarkan sebagian besar cairan yang membawa sperma). Pada wanita, karakteristik ini meliputi vagina (saluran yang mengarah dari luar tubuh ke pembukaan rahim), uterus (rahim), dan ovarium (kelenjar kelamin wanita)
THE SECONDARY SEX CHARACTERISTICS
Karakteristik seks sekunder muncul selama masa pubertas dan hanya terlibat secara tidak langsung dalam proses reproduksi manusia. Fungsi ini membedakan pria dan wanita dan dapat memikat lawan jenis, memastikan aktivitas seksual dan reproduksi terjadi. Selain itu, mereka biasanya merupakan kebutuhan fisik untuk reproduksi.
Female Secondary Sex Characteristics
Pada perempuan, ciri-ciri seks sekunder mencakup percepatan pertumbuhan yang dimulai sekitar usia 10-12 tahun dan berakhir sekitar satu tahun setelah terjadinya menstruasi pertama. Menstruasi pertama, yang disebut menarche, terjadi pada usia rata-rata sekitar 12 tahun di negara-negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat. Proses ini melibatkan pelepasan darah dan lapisan jaringan rahim melalui vagina.
Perubahan lain mencakup peningkatan ukuran payudara sekitar dua tahun setelah percepatan pertumbuhan, perluasan pinggul, pertumbuhan rambut kemaluan, serta penumpukan lemak di daerah bokong dan paha. Beberapa ciri seks sekunder juga melibatkan pertumbuhan dan perkembangan organ seksual primer. Pada perempuan, fase ini terjadi ketika kelenjar susu di payudara mampu memproduksi susu untuk bayi dan saat siklus menstruasi dimulai (Biro et al., 2013; Kreipe, 1992; Lee, 1995).
Male Secondary Sex Characteristics
Ciri-ciri seks sekunder pada pria melibatkan perubahan suara menjadi lebih dalam, pertumbuhan rambut di wajah, dada, dan daerah kemaluan, serta perubahan tekstur kulit menjadi lebih kasar. Perubahan ini juga disertai dengan peningkatan tinggi badan yang terus berlanjut setelah percepatan pertumbuhan pada perempuan. Meskipun pria mengalami percepatan pertumbuhan sekitar 2 tahun lebih lambat dibandingkan perempuan, pertumbuhan tinggi badan pada pria berlanjut hingga akhir masa remaja. Sementara itu, karakteristik seks primer juga mengalami perubahan selama masa pubertas, termasuk dimulainya produksi sperma (spermarche, yang terjadi pada usia di atas 14 tahun) dan pertumbuhan penis serta testis. Perubahan ini pada akhirnya memungkinkan pria untuk berfungsi secara seksual dan berkontribusi dalam proses reproduksi (Kreipe, 1992; Lee, 1995; Song dkk., 2015).
- psychological side dari seksualitas
Peran gender merujuk pada harapan budaya terhadap tingkah laku individu yang diidentifikasi sebagai laki-laki atau perempuan, termasuk sikap, tindakan, dan ciri kepribadian yang terkait dengan jenis kelamin tertentu dalam budaya tersebut (Tobach, 2001; Unger, 1979). Penentuan gender adalah suatu proses di mana seseorang memahami preferensi dan harapan budaya terkait perilaku yang dianggap sesuai untuk laki-laki dan perempuan. Pengembangan identitas gender seseorang (kesadaran menjadi laki-laki atau perempuan) dipengaruhi oleh faktor biologis dan lingkungan (melalui pola asuh dan perilaku pengasuhan anak lainnya).
Pengaruh Psikologis
Identitas gender, seperti jenis kelamin fisik, tidak selalu sesederhana laki-laki yang memiliki ciri maskulin dan perempuan yang memiliki ciri feminin. Kesadaran diri seseorang terhadap identitas gender tidak selalu sesuai dengan penampilan eksternal mereka atau bahkan kromosom seks yang menentukan apakah mereka laki-laki atau perempuan (Califia, 1997; Crawford & Unger, 2004; White, 2000). Individu dengan pengalaman seperti ini biasanya dikenal sebagai transgender.
Isu-isu psikologis, seiring dengan faktor biologis dan lingkungan, berpengaruh terhadap konsep identitas gender seseorang. Dalam suatu sindrom yang disebut disforia gender, individu mengalami ketidaksesuaian gender, merasa menempati tubuh gender lain atau gender alternatif yang tidak sesuai dengan gender yang telah ditetapkan, dan mengalami ketidaknyamanan yang signifikan terkait ketidaksesuaian tersebut (American Psychiatric Association [APA], 2013). Bahkan, setelah individu melakukan perubahan, mereka biasanya akan merasa lebih stabil secara psikologis dan emosional. Kemungkinan besar, ketidaknyamanan akan muncul dari orang di sekitar yang tidak mampu atau tidak bersedia menerima perubahan tersebut.
Pengaruh Biologis
Selain perbedaan ciri-ciri seksual eksternal yang terlihat pada alat kelamin, terdapat perbedaan hormon antara pria dan wanita. Beberapa peneliti berpendapat bahwa paparan hormon ini selama perkembangan janin tidak hanya menyebabkan pembentukan organ seksual, tetapi juga mempengaruhi kecenderungan bayi terhadap perilaku yang umumnya terkait dengan satu jenis kelamin atau jenis kelamin lainnya.
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai bayi perempuan yang terpapar androgen sebelum lahir (seperti pada beberapa obat untuk mencegah keguguran yang mengandung hormon pria). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa kanak-kanak awal, bayi perempuan tersebut lebih cenderung menjadi tomboi, seperti memilih bermain dengan mainan yang umumnya "laki-laki," bergulat dan bermain kasar, serta bermain dengan anak laki-laki daripada dengan anak perempuan lainnya (Berenbaum & Snyder, 1995; Money & Mathews, 1982; Money & Norman, 1987). Namun, ketika mereka tumbuh dewasa, anak perempuan tersebut lebih cenderung menunjukkan keinginan yang lebih umumnya "perempuan," seperti ingin menikah dan menjadi ibu. Banyak peneliti yang sama mengartikan hal ini sebagai bukti bahwa faktor pengasuhan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan pengaruh hormonal.
Pengaruh Lingkungan
Walaupun perempuan yang terpapar androgen sejak dalam kandungan mungkin awalnya terpengaruh oleh hormon-hormon tersebut, nampaknya cukup jelas bahwa "kembalinya" mereka ke perilaku yang lebih feminin di kemudian hari setidaknya sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan sosial. Di berbagai budaya, terdapat harapan tertentu terkait peran yang seharusnya dimainkan oleh laki-laki dan perempuan (dikenal sebagai peran gender), dan tekanan yang dapat diberikan pada individu yang tidak sesuai dengan harapan tersebut bisa sangat besar.
Budaya dan Gender
Pengaruh budaya individu juga turut memengaruhi lingkungan. Meskipun penelitian awal mengenai perbandingan budaya menunjukkan bahwa perbedaan budaya memiliki dampak terbatas pada peran gender (Best & Williams, 2001), penelitian terkini menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, terjadi perubahan pada budaya yang memiliki "kepribadian" yang berbeda. Budaya yang lebih cenderung individualistik (menekankan kemandirian dan memiliki ikatan yang longgar antarindividu) dan memiliki standar hidup yang cukup tinggi, kini menjadi lebih nontradisional, khususnya dalam hal peran perempuan dalam budaya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandangan yang lebih tradisional mengenai gender cenderung dipegang oleh budaya yang bersifat kolektivistik (menekankan ketergantungan dan memiliki ikatan yang kuat antarindividu, terutama ikatan keluarga) dan memiliki tingkat kekayaan yang lebih rendah. Meskipun begitu, bahkan dalam budaya-budaya ini, perempuan lebih cenderung tidak terlalu menyesuaikan diri dengan norma-norma tradisional dibandingkan dengan laki-laki (Forbes et al., 2009; Gibbons et al., 1991; Li & Fung, 2015; Shafiro et al., 2003). Dengan demikian, lingkungan, termasuk dalam wujud budaya, nampaknya memainkan peran setidaknya sebagian dan mungkin dominan dalam membentuk perilaku gender.
- sexual behaviour dan respon
Respon Seksual
Fase 1: Excitement
Fase pertama ini merupakan awal dari rangsangan seksual dan dapat berlangsung dari 1 menit hingga beberapa jam. Denyut nadi meningkat, tekanan darah naik, pernapasan mempercepat, dan kulit mungkin menunjukkan kemerahan, terutama di area dada atau payudara. Pada wanita, klitoris membengkak, bibir vagina terbuka, dan bagian dalam vagina menjadi lembab sebagai persiapan untuk berhubungan seksual. Pada pria, penis menjadi ereksi, testis menarik ke atas, dan kulit skrotum mengencang. Puting susu pada kedua jenis kelamin akan mengeras dan menjadi lebih tegang, terutama pada perempuan.
Fase 2: Plateau
Pada fase kedua dari respons seksual, perubahan fisik yang dimulai pada fase pertama berlanjut. Pada perempuan, bagian luar vagina membengkak karena peningkatan aliran darah ke area tersebut, sementara klitoris menyusut di bawah penutup klitoris tetapi tetap sangat sensitif. Bibir luar vagina menjadi lebih merah. Pada laki-laki, penis menjadi lebih tegang dan mungkin melepaskan beberapa tetes cairan. Fase ini dapat berlangsung hanya beberapa detik hingga beberapa menit.
Fase 3: Orgasm
Tahap ketiga merupakan yang paling singkat dan melibatkan serangkaian kontraksi otot ritmik yang dikenal sebagai orgasme. Pada perempuan, ini melibatkan otot dinding vagina dan dapat terjadi beberapa kali, berlangsung sedikit lebih lama daripada pengalaman orgasme pada laki-laki. Rahim juga mengalami kontraksi, menciptakan sensasi yang menyenangkan. Pada laki-laki, kontraksi otot orgasme di sekitar penis memicu pelepasan air mani, cairan yang mengandung sel kelamin laki-laki, atau sperma. Laki-laki umumnya hanya mengalami satu orgasme intens.
Fase 4: Resolution
Tahap akhir dari respons seksual adalah resolusi, di mana tubuh kembali ke keadaan normal sebelum adanya rangsangan. Aliran darah yang menyebabkan pembengkakan pembuluh darah di berbagai bagian organ genital berkurang; denyut jantung, tekanan darah, dan pernapasan semua kembali ke tingkat normal selama fase ini. Pada perempuan, klitoris menyusut, warna bibir vagina kembali normal, dan bibir tersebut menutup kembali. Pada laki-laki, ereksi hilang, testis turun, dan kantung skrotum kembali mengencang. Laki-laki juga mengalami periode refraktori di mana mereka tidak dapat mencapai orgasme lagi, berlangsung antara beberapa menit hingga beberapa jam untuk individu yang berbeda.
Berbagai Jenis Perilaku Seksual
The Kinsey Study
Pada tahun 1948, Alfred Kinsey merilis laporan kontroversial yang menyajikan hasil survei massal mengenai perilaku seksual sejak tahun 1938 (Kinsey et al., 1948). Temuannya tentang seberapa sering perilaku seperti masturbasi, seks anal, dan seks pranikah terjadi mengguncang banyak orang, yang mungkin belum bersedia untuk menerima kenyataan bahwa begitu banyak orang telah mencoba berbagai perilaku seksual. Kinsey percaya bahwa orientasi seksual bukanlah situasi salah satu dari keduanya, di mana seseorang sepenuhnya heteroseksual atau sepenuhnya homoseksual, melainkan bahwa orientasi seksual berada dalam sebuah kontinum, dengan beberapa orang berada di salah satu dari kedua ekstrem tersebut, dan beberapa lainnya berada di tengah-tengah.
Orientasi Seksual
Istilah orientasi seksual merujuk pada daya tarik seksual dan kasih sayang seseorang terhadap lawan jenis atau sesama jenis.
Kategori Orientasi Seksual
Orientasi seksual yang paling umum adalah heteroseksual, di mana seseorang merasakan daya tarik seksual terhadap individu yang memiliki jenis kelamin fisik berlawanan, misalnya seorang pria tertarik pada seorang wanita atau sebaliknya. Dalam bahasa Yunani hetero berarti "lain," sehingga heteroseksual berarti "daya tarik terhadap yang lain" atau daya tarik terhadap jenis kelamin yang berbeda. Heteroseksualitas dianggap sebagai bentuk perilaku seksual yang diterima secara sosial dalam berbagai budaya.
Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama. Dalam Yunani "homo" berarti "sama." Diskriminasi, prasangka, dan perlakuan tidak adil yang sering dihadapi oleh individu homoseksual di berbagai budaya membuat individu homoseksual lebih cenderung berbohong tentang orientasi seksual mereka untuk menghindari perlakuan negatif. Menurut survei nasional, sekitar 1,8 persen dari pria dewasa dan 1,5 persen dari wanita dewasa berusia 18 tahun ke atas mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian, menunjukkan bahwa orientasi seksual mereka secara eksklusif atau dominan homoseksual (Ward et al., 2014).
Seseorang yang memiliki orientasi biseksual dapat berjenis kelamin pria atau wanita dan merasakan daya tarik terhadap keduanya. Menurut survei nasional yang sama, hanya 0,4 persen pria dan 0,9 persen wanita yang mengidentifikasi diri mereka sebagai biseksual (Ward et al., 2014). Penting dicatat bahwa banyak individu mencoba perilaku seksual alternatif sebelum menentukan identitas seksual mereka yang sebenarnya; satu pengalaman biseksual tidak membuat seseorang secara otomatis biseksual, sama seperti satu pengalaman homoseksual tidak membuat seseorang secara otomatis homoseksual.
Orang-orang juga ada yang tidak mengklasifikasikan diri mereka sebagai heteroseksual, homoseksual, atau biseksual, tetapi melihat diri mereka sebagai aseksual. Aseksual merujuk pada ketidakmampuan merasakan daya tarik seksual terhadap siapapun, atau kurangnya minat terhadap aktivitas seksual (Prause et al., 2004). Hasil sebuah studi di Britania Raya menunjukkan bahwa sekitar 1 persen dari populasi Britania Raya mengakui sebagai aseksual (Bogaert, 2006).
- kesehatan dan gangguan seksualitas
Salah satu konsekuensi dari hubungan seksual tanpa pengaman adalah risiko tertular infeksi menular seksual (IMS), yaitu infeksi yang menyebar melalui hubungan seksual. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri umumnya dapat diatasi dengan antibiotik, namun infeksi yang disebabkan oleh virus cenderung lebih sulit diobati dan sering kali tidak dapat disembuhkan. Sebagai contoh, klamidia merupakan jenis IMS yang paling umum dan dapat diobati dengan mudah, tetapi pada perempuan, klamidia dapat tidak terdeteksi karena gejalanya yang minim atau bahkan tanpa gejala yang mencolok. Jika dibiarkan tanpa pengobatan, klamidia dapat menyebabkan pelvic inflammatory disorder (PID) atau gangguan radang panggul, suatu kondisi yang dapat merusak lapisan rahim, saluran tuba falopi, ovarium, dan struktur terdekat lainnya. Sekitar sepuluh persen perempuan di Amerika Serikat akan mengalami PID selama masa subur mereka (Miller & Graves, 2000).
acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus, khususnya virus human immunodeficiency virus (HIV). Meskipun seseorang yang terinfeksi HIV tidak selalu menderita AIDS, mereka berisiko mengembangkan AIDS di masa depan. HIV merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi rentan terhadap infeksi "opportunis" yaitu infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus yang akan berkembang ketika sistem kekebalan tubuh melemah. Ketika seseorang dengan HIV mengalami salah satu jenis infeksi ini atau ketika jumlah sel T dalam sistem kekebalan tubuh mereka turun di bawah tingkat tertentu, orang tersebut dianggap menderita AIDS (Folkman & Chesney, 1995).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO), HIV dapat ditularkan melalui:
- Melakukan kontak seksual melalui vagina, oral, atau anal tanpa pengaman
- Berbagi jarum suntik, alat suntik, atau larutan obat yang terkontaminasi
- Kehamilan, persalinan, dan menyusui
- Paparan pekerjaan (cedera tertusuk jarum suntik yang tidak disengaja atau paparan darah atau cairan tubuh lainnya yang terkontaminasi)
- Transfusi darah atau transplantasi organ.
Ciccarelli, Saundra, K.; White, J. Noland. 2017. Psychology 5th Ed. Pearson Education. New Jersey
Komentar
Posting Komentar